Foto: Dok. Pribadi facebook Ananda Setiyo Ivannanto |
"Punya masalah mengolah janjan/tandan kosong sawit? Serahkan ke kami, kami punya solusi menjadikannya bahan bakar berkalori tinggi," tulis Ananda Setiyo Ivannanto (Ivan) dalam status di facebook-nya, 14 Maret 2014.
Tiga tahun kemudian, tawaran itu mendapatkan respons dari sebuah perusahaan Jepang yang cukup terkemuka di bidang energi terbarukan, JAG Energy.
Pada 29 November 2017, Ivan yang membawa bendera usaha PT Awina Sinergi Indonesia yang berkongsi dengan PT Bakrie Brothers, menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Japan Asia Group (JAG) Energy untuk bekerja sama membangun energi terbarukan.
"Kami berhubungan dengan JAG Energy sejak Juli 2017," kata Ivan kepada detikFinance sembari menjelaskan latar belakang kerja sama tersebut.
Siapa yang memperkenalkan keduanya?
Prinsip dalam bisnis bahwa "menjalin relasi dan pertemanan itu menjadi sangat penting" di luar kepemilikan modal menemukan artinya.
Ivan mengaku bisa berkenalan dengan JAG lewat mitranya, GEC Bio yang bergerak di pengembangan teknologi semi karbonisasi. Pimpinan proyek Biomass di JAG Energy merupakan kakak kelas satu almamater di Saga University dari CEO GEC Bio.
"Kami diperkenalkan oleh GEC Bio dengan JAG Energy karena JAG Energy butuh dukungan untuk pasokan bahan bakar pembangkit biomassa mereka di Jepang," tutur lelaki kelahiran 13 Oktober 1985 di Pangkal Pinang, Bangka Belitung itu.
Setelah beberapa kali pertemuan di Tokyo dan Jakarta, termasuk site visit ke Kalimantan Selatan dan Timur, JAG akhirnya mempercayakan kebutuhan bahan bakarnya untuk dipasok oleh Awina Sinergi Indonesia. Ivan mendirikan Awina bersama rekan-rekannya sesama alumni SMU 8, Jakarta dan alumni universitas di Jepang pada 25 Juli 2013.
Sebelumnya dia menjadi kepala perwakilan A-Wing Co. Ltd. dari Jepang sejak 2010 hingga 2013. Selanjutnya pekerjaan tersebut ditangani oleh Awina.
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang itu sengaja berkiprah di bidang energi terbarukan karena melihat kenyataan banyaknya daerah yang belum teraliri listrik di Indonesia. Ia menilai dengan keterbatasan yang dimiliki PLN, energi terbarukan bisa menjadi solusi tepat.
Kebetulan dia punya mitra bisnis di Jepang, A-Wing Co. Ltd yang mengembangkan pembangkit listrik tenaga bayu dengan efisiensi yang tinggi. Pembangkit tersebut bisa menghasilkan listrik dari kecepatan angin 1,2 m/s, dan mengajaknya untuk bisa mengembangkan bisnis turbin angin di Indonesia.
"Ini yang mengawali langkah kami untuk berbisnis energi terbarukan di Indonesia," ujar Ivan yang mengambil magister di Ritsumeikan.
Ia mengklaim, perusahaannya punya kompetensi untuk menangani energi bayu, surya, air, biomassa (terutama limbah kopi dan sampah kota), dan panas bumi. Potensi energi biomassa di Indonesia, kata Ivan, mencapai 49,8 GW tapi yang sudah terpasang baru sebesar 1,6 GW. "Secara umum potensi energi terbarukan sebesar 441 GW, tapi baru terinstalasi 8,89 GW," ujarnya.
Terkait kongsi Awina dengan Bakrie Brothers, Ivan menyebut peran Presiden Komisaris Bakrie Brothers, Irwan Sjarkawi. Pada Juni 2017, dia menghubungi Irwan yang tengah berada di Denmark untuk menjalin kerjasama di bidang energi terbarukan.
"Kami mengenal dan banyak berhubungan dengan Bakrie Brothers berkat beliau," ujar Ivan dengan takzim.
Sebaliknya dia bersama Awina Sinergi aktif membantu menjalinkan kerjasama antara Bakrie Brothers dengan perusahaan-perusahaan Jepang dari berbagai bidang. Sebab Bakrie Brothers juga mempunyai pabrik-pabrik CPO, wood pellet, dan koneksi ke konsesi hutan yang memproduksi bahan bakar biomassa.
Dalam proyek dengan JAG, Ivan melanjutkan, Bakrie Brothers berperan sebagai pemasok bahan mentah berupa tandan kosong Sawit. Lalu Awina yang mengolah limbah dari pabrik kelapa sawit dengan proses semikarbonisasi. Nilai ekspor yang akan dimulai Februari 2018 itu mencapai US$ 164,5 juta (Rp 2,2 triliun) per tahun selama 20 tahun atau total US$ 3,29 miliar (Rp 44 trilliun).
Secara umum, ia menilai pengembangan energi terbarukan di tanah air kita sangat lamban. Penyebab utamanya karena PLN tidak diberikan subsidi untuk bisa membeli harga listrik dari energi terbarukan lebih mahal dari fosil.
Akibatnya, energi terbarukan harus bersaing dengan fosil, dan yang bisa bersaing sangat terbatas dan umumnya kualitas tidak bagus sehingga tidak berkesinambungan.
"Akibatnya aset-aset yang sudah operasional sedikit sekali yang betul-betul menguntungkan untuk dapat dijadikan sumber pendanaan bagi pengembangan proyek-proyek pembangkit baru," papar Ivan.
Sedangkan untuk daerah yang tidak ada PLN (off grid), ia melanjutkan, belum ada banyak pihak yang berani mengambil risiko untuk koleksi pembayaran dari pelanggan dan pembayaran ke pengembang. Subsidi di daerah off grid yang seharusnya diberikan sehingga pengembang tidak rugi, pada prakteknya sulit didapatkan. Sehingga yang berjalan adalah yang mendapatkan dana hibah dari luar negeri dan mendapatkan konsesi bisnis akibat adanya pembangkit tersebut.
Guna menyiasati hal itu, Ivan berharap pemerintah memberikan keringanan pajak, akses lahan dan kemudahan feedstock. Selain itu, pemerintah dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga donor untuk memberikan pendanaan kepada bank-bank di Indonesia sehingga pengembang bisa dapat akses dana murah.
Juga perlu ada upaya dari APBN atau dari pengumpulan dana dari masyarakat melalui pelanggan PLN atau pungutan dari pembangkit fossil (carbon tax) untuk membiayai subsidi energi terbarukan. Terakhir,
perizinan perlu disederhanakan dan dari sedikit pintu.
"Pemerintah perlu melindungi warganya dengan mitigasi melalui energi terbarukan yang perlu diberikan insentifnya," ujarnya. (jat/dna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar